Menyelami Benci

Ivan Nashara
6 min readApr 18, 2021

Suatu hari saat sedang asik nge-game, seseorang berkata pada saya, “tuh liat di grup WA, temen-temenmu.”

Ternyata isinya seperti biasa, propaganda anti-pemerintah semacamnya yang nggak pernah saya ambil pusing. Saya sudah pensiun dari politik, bodo amat. Tapi ternyata identitas subversif masih melekat pada saya. Kalau ada kritik-kritik anti-mainstream pasti saya dianggep se-geng sama mereka.

Saya tanggepin kalem hingga entah gmana diskusi berlanjut tentang stereotip, tentang propaganda. Saya tanya “lebih takut mana, liburan ke timur tengah atau ke AS?” Tentu jawabannya adalah Timur Tengah. Saya jawab, secara statistik kematian akibat kriminalitas dan rasialisme di AS itu mengerikan. Sudah nonton serial-serial barat kan, bagaimana polisi dan penjahat gampang banget bunuh orang.

Kemudian diskusi berlanjut ke George Floyd yang baru meninggal karena dijahatin polisi. Seseorang tersebut mencibir buat apa ada gerakan-gerakan sosial yang harus repot-repot membela seorang kulit hitam yang memang bandel, jahat, dan benalu di AS.

Orang tersebut tentu tidak paham kompleksitas masalah rasial di AS. Perbudakan yang berlanjut pada lynching, diskriminasi sosial, politik, gentrifikasi, dan extra-judicial killing yang nggak habis-habis. Sebuah etnis digerogoti luar dalam selama ratusan tahun: disiksa fisiknya dan direkayasa sedemikian rupa supaya tidak bisa naik status sosialnya.

Akhirnya saya panas, sebelum jadi perkelahian, saya tutup dengan pertanyaan: “kalau dulu kakekmu hilang tahun 65 dan bapakmu di-bully seumur hidup sampai nyiksa kamu dari kecil, apa perasaanmu?”

Yang Jarang Orang Lakukan: Merasa-rasai Tragedi

Apa jalan-jalan bisa cuma dengan liat YouTube? Misalkan, ingin ke Hawaii. Lalu tinggal buka YouTube lalu nonton drone yang muter-muter di atas pantai. Apa itu sudah jadi experience ke Hawaii? Sebagian besar dari kita pasti jawabnya nggak.

Begitu juga merasakan tragedi kemanusiaan. Baik kemiskinan, maupun pelanggaran HAM.

Apakah Anda termasuk yang menyukai order baru? Dan menganggap semua pelanggaran HAM terjustifikasi? Saran saya, coba rasa-rasai dulu lebih serius.

Coba Anda pergi ke Trisakti dan berdiri di titik-titik penembakan yang tersebar di berbagai tempat di halaman kampus. Bayangkan diri Anda di tempat itu 22 tahun silam. Teman dekat Anda yang baru makan mie ayam di kantin, dia jalan keluar, tiba-tiba “Dor!” dan teman Anda terkapar di depan Anda bergelimangan darah.

Coba Anda ke area Glodok dan lihat beberapa ruko yang kumuh dan jendelanya masih penuh barikade. Lalu Anda ngobrol dengan penyintas soal cerita waktu itu. Bagaimana orang dibakar, disesuatukan. Bayangkan kalau itu saudara Anda sendiri, di kampung Anda sendiri, yang tiba-tiba disantroni ratusan orang bergolok yang teriak-teriak marah.

Saya ada di rombongan ini, di belakang2

Apa tragedi sekarang rasanya sudah lebih dekat?

Hm, memang Indonesia kurang akrab dengan pelestarian tragedi. Banyak dari kita ini kalau nggak ribut-ribut padahal nggak paham pokok, ya pilih melupakan saja.

Lain Indonesia, lain Kamboja, di sana saya dapat pelajaran penting soal memaknai tragedi di sebuah musium bernama Tuol Sleng. Tempat itu adalah gedung sekolah yang dulunya dijadikan kemah konsentrasi bagi orang-orang yang dianggap musuh dari rezim Khmer Merah. Kasus itu masih belum selesai pengadilannya. Tapi musium itu resmi berdiri di sana, tidak terusik, sebagai monumen tragedi yang dikunjungi anak-anak sekolah.

Masuk ke kompleks tersebut masih disisakan rasa grim-nya. Masih ada ruang dengan berbagai bentuk alat penyiksaan, rantai-rantai, dan kawat berduri yang cuma bisa memberikan horor di kepala Anda. Lebih mantapnya, Anda diberikan seperangkat media player dengan ear phone sebagai tour guide Anda. Jadi setiap Anda memasuki suatu ruangan akan ada narasi dengan musik dramatis yang mengiringi pengalaman Anda bertragedi.

Never will we forget…

Hingga akhirnya Anda merasa satu nyawa pun terlalu berharga. Satu wajah penuh horor kesakitan, yang tidak bisa berbuat apa-apa, sudah lebih dari cukup untuk Anda meyakini kalau menyiksa orang, apapun alasannya, tidak masuk akal.

Pelestarian Kebencian

Kenapa seseorang yang ngobrol dengan saya itu kok kebas? Kenapa banyak orang santai saja merusuh dan menghilangkan nyawa? Banyak sekali kajiannya, sosiologis dan psikologis. Tapi ada beberapa pelajaran yang saya ingat yang bisa sedikit bercerita aspek kebencian ini.

Nomer satu pastinya aspek propaganda. Dari media yang memang eksplisit, hingga produk budaya lain yang implisit. Serial TV di AS misalnya, yang agak jarang menceritakan detil soal kebijakan-kebijakan diskriminatif jadi orang jarang akrab dengan konteks, biasanya sering sekali melakukan labeling terhadap etnis atau kelompok tertentu. Sekarang protagonisnya sudah ada yang kulit hitam, ada yang latin. Tapi penjahatnya juga masih hitam, latin, dan imigran. Itu baru media, belum lagi tradisi mulut ke mulut yang paling ampuh menjaga warisan stereotip.

Jadinya kentara sekali. Saya memang nggak pernah ke AS, tapi sekali waktu saya ke Irlandia dan Australia, rasisnya terasa juga. Saat jalan-jalan santai melewati gang-gang sempit khas Eropa, seorang anak muda tanggung usia 15-an berusaha menabrak saya dan menyebut macam-macam kata kasar. Di Australia, pengemudi mobil ngegeber mobilnya saat saya lewat di sebuah trotoar.

Bentuk propaganda dalam aspek paling ekstrim, Anda bisa menonton dokumenter Faces of the Enemy.

Di sini diceritakan bagaimana ‘musuh’ digambarkan selalu dengan keji dan hiperbola. Pembuat filmnya pun berkesempatan mewawancara seorang pelaku pembunuhan terhadap 1 keluarga yang ia tuduh keluarga komunis. Pembunuh ini jelang hukuman matinya tidak ada sedikit pun rasa berasalah, menganggap korbannya hanya collateral damage dari perang suci yang ia jalani.

Secara psikologis di dokumenter juga digambarkan bagaimana proses evangelist dari cult leader, negara, dan propagandis yang dilakukan dengan cara memberikan moral certainty dan justifikasi terhadap keharusan untuk membasmi mereka yang dianggap musuh.

Identifikasi Tingkat Benci Dalam Diri

Mari kita kontekstualisasi seluruh pembahasan sebelumnya menjadi lebih actionable. Sudah kah Anda membenci dan dibenci hari ini?

Dalam dokumenter di atas dan juga berbagai aktivitas kebencian Anda sehari-hari baik pada etnis lain, agama lain, hingga mungkin teman kantor, Anda akan melihat beberapa ciri-ciri di bawah ini:

  • Overgeneralization. Sang pembenci menggunakan logika gothak gathuk untuk membesarkan satu kasus dan melakukan generalisasi kasus tersebut sebagai kesalahan fatal dan total. Karenanya mudah bagi pembenci untuk mengukuhkan kebenciannya.
  • Read the thought. Pembenci selalu merasa bisa membaca pikiran lawannya. Prasangka. Pembenci merasa yakin bahwa lawannya berpikir hal-hal yang pastinya merugikan ia, menambah alasannya untuk membenci.
  • Emotional reasoning. Pembenci selalu menganggap persepsinya yang paling utama dan benar dan merupakan realitas. Kalau emosinya merespon, itu pikiran yang ia diikuti.
  • Maximalisasi & Minimalisasi. Pembenci memilah dengan baik mana yang perlu dibesar-besarkan dan mana yang perlu dikecil-kecilkan saja.
  • Katastropikisasi. Bagi pembenci, masalah apapun akan menjadi masalah paling besar, paling bencana. Keunggulan lawan akan berarti kekacauan alam semesta, bahaya kuadrat, yang perlu segera diselamatkan dengan aksi heroiknya.

Kalau Anda setuju membenci itu ada batasnya dan nyawa itu tidak ada harganya (tidak murah, tidak mahal, tak pantas dibeli), mari kita mulai dengan identifikasi dulu bibit-bibit benci kita seperti poin di atas. Siapa mereka yang kita selalu besar-besarkan satu postingan-nya di Slack (:p)? Siapa etnis/kelompok yang kalau masuk berita langsung kita sebar ke grup tetangga?

Kontemplasikan, apa kita sudah berlebihan?

Kalau iya, mari kita pikir lagi dan dekonstruksi. Kenali ‘musuh-musuh’ Anda ini. Anda benci orang-orang berjenggot dan bercadar? Jangan bayangkan propaganda terorisme. Bayangkan dia bapak baik hati yang berjualan roti khamir di emperan. Asli enak, lebih enak daripada jualan mas-mas Jawa.

Anda benci etnis Tiong Hoa? Anda ikuti saya saja. Buat saya mereka mbak-mbak cantik dan smart yang kalau senyum aduh nggak nahan.

--

--